Jumat, 17 September 2010

Kesempatan Kedua!


Johanes 8:1-11
Minggu, 26 September 2010



“Coba Lagi”, itu bunyi tulisan di sebuah kupon berhadiah dari sebuah undian berhadiah di satu produk makanan yang saya beli. Ternyata produk tersebut sedang menyelenggarakan undian berhadiah bagi para pembeli produknya. Dengan membeli produk tersebut, didalam kemasannya para pembeli akan mendapatkan sebuah kupon undian. Dengan menggosok bagian yang dihitamkan, anda akan segera mengetahui apakah anda mendapat hadiah atau tidak. Ternyata saya kurang beruntung saat itu, tetapi kata Coba Lagi” saya pahami sebagai tawaran untuk mencoba kesempatan berikutnya, ketika membeli produk yang sama. Ada kesempatan berikutnya bagi saya, dan bagi para pembeli lainnya untuk mendapatkan hadiah yang ditawarkan setiap kali membeli produk yang sama.
Bicara tentang kesempatan berikutnya, kita juga bisa jumpai di sekolah atau instansi pemerintahan atau swasta. Ketika seseorang mencoba melamar untuk masuk disebuah lembaga pendidikan atau mendapatkan pekerjaan, ada serangkaian test yang harus diikuti. Hasilnya, tentu saja, ada yang lulus dan ada yang tidak lulus. Yang tidak lulus akan dianjurkan untuk mencoba pada kesempatan berikutnya. Ada kesempatan berikutnya bagi para pelamar yang tidak lulus untuk mengulang di kesempatan lainnya.
Selalu ada kesempatan kedua bagi semua orang untuk mendapatkan keinginannya, mendapatkan keberhasilan. Bahwa dalam usaha itu ada kekurangan-kekurangan dalam dirinya sehingga gagal untuk mendapatkan kesempatan itu, namun diberikan kesempatan berikutnya. Ada yang mengatakan “kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda.” Kalau boleh, saya ingin menambahkan ”...jika kita mau menggunakan kesempatan kedua yang diberikan kepada kita.” Jika tidak, kegagalan adalah tetap kegagalan.
Di dalam keluarga sendiri, kesempatan kedua seringkali dimintakan oleh salah satu pihak ketika terbukti melakukan kesalahan. “Tolonglah, berikan aku satu kesempatan lagi untuk merubah diriku.” Ada sebuah pengharapan didalamnya, akan adanya kesempatan yang diberikan.
Tetapi bagi para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, kesempatan kedua itu tidak ada dalam kamus mereka. Buktinya, perempuan yang berzinah dalam Injil Yohanes ini, hendak langsung dihakimi oleh mereka. Memang, dalam pandangan hukum Yahudi perzinahan adalah kejahatan yang serius. Menurut para Rabi Yahudi, orang Yahudi lebih baik mati daripada melakukan penyembahan berhala, pembunuhan dan perzinahan. Melakukannya adalah sebuah dosa yang besar dan dapat dikenakan hukuman mati. Cara yang paling lazim adalah dengan melempari dengan batu sampai mati.
Kasus ini dibawa kehadapan Yesus dengan tujuan untuk menjebak Dia. Ini adalah sebuah perangkap yang dipasang oleh para ahli Taurat dan orang Farisi agar Yesus jatuh kedalamnya. Sebab, jika Yesus mengatakan bahw wanita itu wajib dilempari dengan batu sampai mati, maka hal itu akan mengakibatkan 2 hal. (1) Dia akan kehilangan nama baikNya yang telah diperoleh lewat kasih dan belas-kasihNya. (2) Dia akan bertentangan dengan hukum Romawi, karena orang Yahudi tidak berwenang menjatuhkan atau melaksanakan hukuman mati terhadap siapapun. Selanjutnya, jika Yesus menjawab sebaliknya, bahwa wanita itu wajib diampuni, maka orang dapat langsung mengatakan bahwa Dia mengajar orang untuk melanggar hukum Musa dan bahwa Dia memaafkan bahkan mendorong orang untuk berbuat zinah.
Yesus tidak tergesa-gesa menjawab mereka. Dia “membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah.” Apa yang Yesus tulis di atas tanah? Kata Yunani yang biasa dipakai untuk kata kerja menulis ialah graphein; akan tetapi kata kerja yang dipakai di sini adalah katagraphein, yang berarti mencatat sesuatu melawan seseorang. Seperti Ayub katakan:”Sebab Engkau menulis hal-hal yang pahit terhadap aku.” (disini juga dipkai kata katagraphein). Mungkin Yesus sedang menghadapi orang-orang kejam (sadis) yang begitu yakin akan kebenaran diri sendiri, dan Ia mencatat dosa-dosa mereka itu.
Orang banyak itu terus menatap kepada Yesus dengan penuh harap menanti jawaban dari Yesus. Bagi para ahli Taurat dan orang Farisi, mereka berharap jawaban itu akan memenangkan mereka atas Yesus, sebab Yesus sudah menjadi sebuah ancaman bahi kedudukan mereka dalam masyarakat Yahudi. Tetapi ketika Yesus akhirnya menjawab meraka, semua terkejut dan tidak bisa berbuat apa-apa. Yesus berkata:”Baiklah! Rajamlah dia! Akan tetapi, biarlah orang yang tanpa dosa itulah yang pertama kali melempar batu.” Mendengar jawaban Yesus itu, orang-orang yang tadinya sudah siap dengan batu masing-masing untuk melempari perempuan itu, menjadi terkejut dan perlahan-lahan menjatuhkan batunya dan pergi dari tempau itu.
Tinggallah Yesus dengan perempuan itu. Yesus bertanya kepada perempuan itu: “Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?” Jawabnya:”Tidak ada, Tuhan,” Yesus berkata:”Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” Adalah mudah untuk menarik kesimpulan yang salah seolah-olah Yesus dengan mudah mengampuni kesalahan perempuan tersebut. Yang Yesus lakukan adalah menunda hukuman. Ia tidak langsung menjatuhkan hukuman pada saat sekarang, tetapi Ia melepaskan perempuan itu untuk memperbaiki dirinya, untuk tidak mengulangi dosa yang sama.
Jawaban dan tindakan Yesus dalam kasus ini menunjukkan kepada kita sikap Yesus terhadap orang berdosa. (1) Jangan menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.” (Mat. 7:1). Orang yang berusaha untuk menghakimi saudaranya adalah seperti seseorang dengan balok di dalam matanya sendiri, yang mencoba untuk mengambil selumbar dari mata orang lain (Mat. 7:3-5). Tidak ada seorang pun diantara kita yang cukup baik untuk menghakimi orang lain. Rasul Paulus juga menagatakan:” Karena itu, hai manusia, siapa pun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama. Tetapi kita tahu, bahwa hukuman Allah berlangsung secara jujur atas mereka yang berbuat demikian (Roma 2:1-2). Hanya Tuhan sajalah yang berhak untuk menghakimi. (2) Emosi yang ditunjukkan Yesus ketika berjumpa dengan orang berdosa adalah kasihan. Ketakutan yang paling utama dalam diri seorang yang baru dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan, setelah menjalani masa hukumannya, adalah bagaimana pandangan orang tau masyarakat terhadap dirinya. Bayak yang menjadi takut, menjauhi dan tidak mau bergaul dengannya. Jarang ada orang yang bertindak sebaliknya, yaitu mau menjadi teman, menyembuhkan mereka dari rasa bersalah tersebut. Yesus mengajarkan, ketika kita berhadapan dengan orang yang telah berbuat kesalahan, kita harus menyampaikan rasa belas kasihan untuk menghibur mereka. Bahkan sebisanya kita menolong mereka untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. (3) Yesus selalu memberi kesempatan kedua. Jawaban Yesus kepada permpuan itu dapat kita baca demikian:”Aku tahu bahwa engkau telah berbuat suatu kesalahan. Akan tetapi, hidup ini terus berjalan. Aku akan memberimu kesempatan lagi, kesempatan untuk menyelamatkan dirimu dari kebinasaan.” Yesus adalah Kasih. Ia berbeda dengan para ahli taurat dan orang-orang Farisi yang ingin menghukum. Sebaliknya, Yesus ingin mengampuni. Yesus memandang orang bersalah dengan belas-kasihan yang keluar dari kasih; sebaliknya para penentangnya itu memandang perempuan itu dengan rasa muak yang keluar dari kebenaran diri.
Setiap orang pernah berbuat salah di dalam hidupnya. Berbuat salah seperti sudah menjadi kebiasaan manusia. Itu menunjukkan kelemahan manusia itu. Tidak ada seorang pun dari kita yang kebal dari berbuat salah. Entah itu kesalahan yang berdampak besar maupun kecil, yang jelas kita telah melakukan sebuah pelanggaran dalam hidup kita. Karena itu, tidak seorang pun dari kita yang dapat membenarkan dirinya atas orang lain, seolah-olah hendak mengatakan bahwa “Akulah yang benar”.
Inilah fakta yang kita semua telah ketahui, namun kita juga sering melupakannya. Ketika kita berhadapan dengan orang yang salah, kita berusaha mengambil posisi menjadi hakim atas dia. Memberi hukuman menjadi posisi yang selalu disukai banyak orang, seolah ada kepuasan yang diacapai ketika kita mampu menghukum seseorang atas kesalahannya. Kita menjatuhkan hukuman yang berat, yang bermaksud membuat orang menjadi tidak berdaya.
Memang, setiap kesalahan tentu harus mendapatkan hukuman. Kita tetap harus menghormati hukum yang berlaku. Dengan tidak menghukum sesorang atas kesalahannya, dapat menjadi contoh yang buruk bagi orang lain di dalam sebuah komunitas masyarakat. Namun, hendaknya hukuman yang kita berikan bukanlah hukuman yang ingin membinasakan, seperti yang hendak dilakukan orang Yahudi kepada perempuan tersebut. Hukuman yang diberikan hendaknya hukuman yang membangun kesadaran, yang masih memberikan kesempatan kepada yang berbuat salah untuk menyadari kesalahannya dan akhirnya tidak akan mengulangui kesalahan tersebut di masa depan. Hukuman yang kita berikan, bukan didasari oleh kebencian dari diri kita. Sebaliknya, hendaklah didasari oleh rasa kasih kita kepadanya. Kita memberi kesempatan kepada setiap orang yang berbuat salah untuk dapat memperbaiki kesalahan tersebut.
Dan inilah yang Yesus mau ajarkan kepada kita. Setiap orang memiliki kesempatan untuk memperbaiki setiap kesalahan yang pernah dilakukan. Tidak ada seorang pun yang tidak pernah berbuat kesalahan. Kita semua berhak mendapat kesempatan kedua untuk memperbaiki diri dari semua kesalahan yang pernah kita lakukan.