Senin, 25 Oktober 2010

Sakramen

Pokok-pokok Ajaran Protestan


Suatu hari, ketika saya akan melayankan acara penguburan bagi warga jemaat HKI yang meninggal dunia, saya dikejutkan oleh panggilan dari protokol acara tersebut. Setelah acara adat kematian selesai dilaksanakan, dengan lantang protokol acara tersebut menyuarakan lewat pengeras suara:”Ala naung simpul ulaon adat, pinasahat ma tingki tu amamg Pandita nami laho mangaleho sakaramen di natuatua on” (Indonesia: Selanjutnya kami persilahkan untuk pak pendeta untuk melayankan sakramen). Mendengar hal tersebut saya terkejut, namun masih berusaha memaklumi, bahwa mungkin dia adalah seorang jemaat awam atau bisa jadi penganut Katolik. Tapi, setelah saya tanya kepada penatua yang menemani saya, dia katakan bahwa orang yang mengucapkan hal tersebut tersebut berasal dari kalangan Protestan dan, hal yang paling mengejutkan saya, seorang sintua pula! Bagaimana mungkin, seorang Protestan yang sekaligus sintua di gereja Protestan, bisa menyatakan hal yang demikian?
Sebenarnya bukan sekali itu saja saya pernah mendengar pernyataan seperti itu keluar dari seorang Protestan. Tidak hanya dalam acara penguburan, bahkan dalam sebuah sermon, ucapan tersebut pernah saya dengar. Ada sebuah pemahaman bahwa acara penguburan bagi warga jemaat yang meninggal adalah sebuah sakramen. Ini menjadi sebuah keprihatinan bagi saya, betapa masih banyak warga jemaat, bahkan penatua, yang tidak memahami pokok-pokok ajaran Martin Luther, Bapa Reformasi Gereja, tentang sakramen. Masih ada warga jemaat Protestan yang tidak mengetahui bahwa ada perbedaan pemahaman antara Protestan dengan Katolik, tentang apa itu sakramen dan ada berapa jenis sakramen yang diakui oleh gereja Protestan.

Inilah yang menjadi dasar penulisan artikel kecil ini, ingin menolong warga jemaat dan para penatua dari kalangan Protestan untuk lebih memahami apa itu sakramen, apa saja yang menjadi sakramen di gereja protestan.

Apa itu Sakramen?

Kata Sakramen berasal dari kata Latin, sacramentum, yang sudah diadopsi ke dalam bahasa teologia oleh Tertullianus (Bapa Gereja yang hidup sekitar tahun 200). Kata sacramentum dapat diterjemahkan dengan “perbuatan kudus” atau “upacara suci”. Jadi sakaramen menurut arti katanya adalah perbuatan suci atau upacara suci. Menurut pengertian Kristen, sakramen berarti perbuatan suci atau upacara suci yang ditetapkan Tuhan Yesus sendiri tatkala ia masih berada di dunia ini.
Gereja Katolik Roma mengenal 7 (tujuh) sakramen. (1) Permandian, yang olehnya – menurut ajaran Katolik Roma – dihilangkan dosa asal; (2) Penguatan, yang diberikan kepada anak-anak setelah berumur kira-kira 12 tahun, untuk menguatkan mereka dalam perjuangan iman yang akan datang; (3) Ekaristi, berasal dari istilah Yunani “Eucharistia”, artinya ucapan syukur; (4) Pengakuan, yaitu pengakuan dosa-dosa yang dilakukan setelah Permandian dan yang diampuni dengan perantaraan kuasa imam; (5) Perminyakan, yang memberi kepada orang sakit kekuatan untuk mati secara kristen; (6) Imamat (=keimaman, pentahbisan menjadi imam) yang olehnya diberi kekuasaan untuk melanjutkan keimaman Kristus; dan (7) Perkawinan, yang menurut ajaran katolik Roma ditetapkan oleh Allah dalam taman Firdaus dan oleh Yesus diangkat menjadi sakramen.

Di dalam gereja Protestan, yang berpedoman kepada ajaran para reformator (Marthin Luther, dkk.), hanya ada dua sakramen, yaitu : Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus. Sebab menurut Alkitab, hanya kedua sakaramen itulah yang secara langsung ditetapkan Tuhan Yesus. Dengan kedua sakramen ini, dikatakan, bahwa Tuhan Yesus hendak memeteraikan (menetapkan ; mensyahkan) janji-Nya, yaitu bahwa Ia menganugerahkan kepada kita keampunan dosa dan kehidupan kekal berkat pengorbanan dan kematian-Nya (Roma 4:11). Sakramen diadakan bukan hanya sebagai tanda-tanda yang dengannya orang dapat dikenal secara lahiriah sebagai orang Kristen, melainkan agar sakramen-sakramen menjadi tanda-tanda dan kesaksian-kesaksian akan kehendak Allah atas kita untuk membangkitkan dan meneguhkan iman kita. Jadi sakramen itu ditetapkan agar iman kita diarahkan kepada pengorbanan Kristus sebagai satu-satunya dasar dan jaminan keselamatan kita. Roh Kuduslah yang menanamkan arti sakramen itu ke dalam hati kita (Roma 6:3) dan kita patut menerima sakramen itu dengan sukacita dan rasa syukur.

Baptisan Kudus

Baptisan Kudus menjadi tanda dan meterai yang mencap orang beriman dan anak-anaknya selaku jemaat yang dikuduskan untuk menjadi milik Kristus secara khusus (1 Kor. 7:14). Lewat Baptisan kita telah diterima menjadi anak-anakNya dan warga kerajaan-Nya, setelah Ia terlebih dahulu menyucikan kita dari segala dosa, termasuk dosa yang kita warisi dari Adam, manusia pertama yang jatuh ke dalam dosa.
Dalam Matius 28:19, Tuhan Yesus memerintahkan agar murid-muridNya “...jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka di dalan nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,...” Perintah agung inilah yang menjadi salah satu pedoman utama gereja untuk menyelenggarakan baptisan. Juga dalam pasal terakhir Injil Markus (16:16) dikatakan:”Siapa yang percaya akan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.”
Di dalam gereja kita, yang dibaptis adalah anak kecil sesuai dengan fungsi baptisan sebagai tanda pengesahan. Marthin Luther sendiri menegaskan bahwa Anak-anak dibaptis karena perintah Allah.

Begitu pula yang kita lakukan bila kita membaptis anak-anak. Kita membawa anak itu dan menganggap serta berharap bahwa ia percaya. Kita meminta agar allah memberi iman kepadanya. Namun, kita membaptisnya bukan karena imannya, melainkan hanya karena Allah telah menyuruh kita membaptis. (Buku Konkord, Konfesi Gereja Lutheran)

Baptisan diwujudkan dengan air (ada yang memercikkan, ada juga yang menyelamkan). Air menjadi simbol pembersihan kita, bahwa Adam lama kita bersama dengan dosa-dosa dan keinginan jahat dihanyutkan oleh penyesalan dan pertobatan kita. Yang terpenting adalah bukan airnya atau caranya, melainkan maknanya, yakni bahwa seseorang telah disyahkan menjadi warga Kerajaan Allah di dalam nama Allah Bapa, Allah Anak (Tuhan Yesus) dan Roh Kudus.

Perjamuan Kudus

Ketika Tuhan Yesus merayakan Perjamuan Paskah untuk terakhir kalinya, Ia mengambil roti, memecahkannya dan memberikannya kepada murid-muridNya sambil berkata:”Inilah tubuhKu yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” (I Kor. 11:24). Pada akhir pertemuan, ketika diedarkanNya cawan berisi air anggur, Ia berkata:”Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darahKu; perbuatlah ini setiap kali kamu meminumnya menjadi peringatan akan Aku!” (I Kor. 11:25).

Berdasarkan perkataan-perkataan inilah maka beberapa kali dalam setahun jemaat Protestan mengadakan kebaktian khusus untuk merayakan Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus adalah Perjamuan yang tergolong kepada Perjanjian yang diadakan Allah dengan umatNya di bukit Golgota (Perjanjian yang Baru), dimana anak domba Paskah telah dikorbankan satu kali untuk selama-lamanya (I Kor. 5:17). Bila pada perayaan Perjamuan Kudus kita menerima roti dan anggur, maka dengan “Firman yang kelihatan” ini ditegaskan dan diberi jaminan kepada kita bahwa kita boleh ambil bagian dalam keselamatan yang dikerjakan Kristus bagi manusia. Sebab, dengan menerima tanda-tanda roti dan anggur itu kita dijadikan satu dengan Kristus di dalam kematianNya. Perjamuan Kudus adalah tanda yang ditetapkan Tuhan untuk mengingatkan semua orang yang percaya kepadaNya kepada sengsara dan pengorbananNya untuk menebus dosa kita dan menyediakan kehidupan kekal bagi kita. Dengan menerima tanda itu kita boleh yakin bahwa sekarang pun kita telah menerima keselamatan itu, dan itu sepenuhnya akan kita nikmati ketika kita bersama dengan Dia merayakan Perjamuan Agung bersama Dia di kerajaanNya yang kekal, setelah Ia datang kembali membarui dunia ini.

Ada dua tanda yang digunakan dalam penetapan Perjamuan, yaitu roti dan anggur. Roti melambangkan tubuh Kristus dan anggur melambangkan darahNya; kedua-duanya telah dikorbankan di atas kayu salib. Marthin Luther menegaskan bahwa tubuh dan darah Kristus ada ‘”dalam” dan “dibawah” unsur roti dan anggur. Tidak ada perubahan dalam substansi unsur-unsur itu, tetapi pada waktu menerimanya jemaat sesungguhnya menerima tubuh Kristus yang sudah dimuliakan dan memang ada dimana-mana. Dengan demikian, kristus benar-benar hadir dalam Perjamuan, dilokalisasi dalam unsur-unsur roti dan anggur yang tidak berubah sifatnya.

Tujuan dari Perjamuan Kudus, oleh Marthin Luther disebutkan, adalah: (1) untuk memperoleh ‘harta’ yang di dalam dan melaluinya kita menerima pengampunan dosa. Karena itulah yang dikatakan dan diberikan Kristus kepada kita, supaya semua ini dapat menjadi milik kita dan bermanfaat bagi kita sebagai suatu jaminan dan tanda yang pasti. Marthin Luther sendiri menegaskan:”Sesungguhnya, itulah pemberian yang Ia berikan kepada ku dalam perjuangan melawan dosa-dosa ku, maut dan segala kemenangan.” (2) untuk memelihara dan menguatkan manusia baru. Melalui baptisan kita telah dilahirkan menjadi manusia baru. Namun, kulit kita yang lama tetap beserta kita, sama seperti darah dan daging. Ada begitu banyak rintangan dan serangan dari iblis dan dunia, sehingga kita sering menjadi letih dan lesu, bahkan kadang-kadang tersandung. Perjamuan Kudus diberikan kepada kita sebagai makanan dan penyegaran sehari-hari sehingga iman kita dapat bertumbuh lagi dan memperbaharui kekuatannya, tidak jatuh lagi dalam pergumulan, melainkan semakin teguh.
Siapakah yang dapat mengikuti sakramen ini? Penting untuk kita pahami bahwa sakramen ini diberikan bukan karena kita layak menerimanya. Kita menerima sakramen ini bukan sebagai orang yang seolah-olah sudah murni dan tak berdosa, melainkan sebagai sebagai orang yang hina dan malang, yang menginginkan rahmat dan penghiburan Allah. Karena itu, sakramen-sakramen itu harus disertai iman, dan sakramen-sakramen itu dipergunakan dengan benar apabila diterima dengan iman dan untuk meneguhkan iman. Ini adalah janji kristus kepada kita, dan sungguh suatu dosa dan aib bila kita bersikap menolak dan menunda-nundanya sampai hati kita menjadi dingin dan keras dan tidak lagi merindukan Perjamuan Kudus.

Jadi, saya harap tidak ada lagi salah paham tentang Sakramen di dalam kita, kaum Protestan. Tidak akan ada lagi orang protestan yang mengatakan agar orang mati “disakrameni”, karena itu bukanlah sebuah sakramen!
Pdt. Riston Eirene Sihotang, S.Si. (Teologi)